Senin, 14 Juni 2010

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag
Dalam setiap pelaksanaan pilkada, NU selalu menjadi perhatian utama berbagai pihak. Bukan hanya pada peran NU dalam mengawal pelaksanaan pilkada yang lebih berkualitas, tetapi sorotan tajam juga pada NU karena dukungannya pada salah satu kandidat. Terlebih lagi maraknya elit-elit NU termasuk pemimpinnya yang mencalonkan diri sebagai orang nomor satu maupun kedua, yang tentu akan menarik-narik NU (baca; institusi) dalam arus utama politik praktis.
Terlebih lagi pengaruh kultur politik dalam lingkungan NU sendiri cukup kuat. Sejarah panjang NU sebagai partai politik yang sangat disegani oleh rival politiknya, masih mewariskan pengaruh politik yang cukup kuat dan mendasar hingga sekarang. NU dan politik seperti satu kesatuan yang utuh tidak akan bisa dipisahkan satu sama lain. Seiring dengan apa yang pernah dilontarkan oleh KH A Wahab Chasbullah sebagaimana yang dikutip Allan A Samson dalam Karl D Jackson & Lucian W Pye (Eds), Political Power and Communications in Indonesia (1978), bahwa Islam dan politik seperti gula dan manisnya.
Tentu bukan politik praktis sebagaimana layaknya partai politik, karena NU sudah memutuskan untuk kembali ke khittah NU Tahun 1926. Ibarat kereta sudah jelas rel yang harus dilalui. Sayangnya, konsistensi NU dalam mengikuti “rel” khittah NU masih belum sepenuh hati, tanpa disadari sering kali keluar rel yang menyebabkan munculnya masalah baru. Politik kebangsaan dan konsep “rahmatan lil alamin” yang menjadi konsep dan agendanya belum maksimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Justru NU terlihat masih malu-malu ketika berhadapan dengan manuver politik praktis, sama malu-nya pada posisi hubungan NU dengan partai politik termasuk PKB yang nota bene dilahirkan oleh tokoh-tokoh harismatik NU. Sikap tegas NU pada gerakan politik praktis masih terlihat sangat abu-abu. Safari politik yang dilakukan elit-elit NU dalam memberikan dukungan politik pada salah satu kandidat masih jadi tradisi politik yang belum bisa dihindari. Membuktikan betapa NU masih senang bermain dalam wilayah yang penuh kontroversi, meskipun dukungan politik itu sesama kader.
Belum lagi sistem di luar lingkungan yang membawa daya tarik politik yang lebih kuat. Pragmatisme politik yang semakin kuat mempengaruhi para aktivis dan ormas seiring dengan agenda demokrasi yang lebih mengutamakan suara publik. Tidak heran jika Pilkada dan dinamika politik lokal juga semakin kencang menyeret NU yang nota bene sebagai ormas islam dengan massa yang sangat besar.
Namun demikian, harus juga diakui bahwa langkah NU selama ini masih terlihat cantik dalam mengarungi dua kepentingan besar yang bertarung, antara independensi dengan ruang politik praktis. Gaya elit NU jauh dari kesan “kampungan” yang selama ini dipraktekkan oleh para rent seeker dan kelompok pragmatisme. Di samping itu, perbedaan orientasi politik yang terbentuk, tidak membuat NU membangun jarak dengan pihak yang punya ideologi berbeda. NU tetap merawat kebersamaan dengan semua pihak, menumbuhkan kesadaran publik akan pentingnya kebersamaan dalam mengawal keluarga besar bernama Indonesia. Tetap konsisten dalam membangun kesadaran individual (wa’yul-fardiyyah), kesadaran komunal (ukhuwwah nahdliyyah, ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah islamiyyah) sampai pada kesadaran universal (ukhuwwah insaniyyah) demi kepentingan bangsa. Tidak heran jika NU tetap disegani oleh berbagai kalangan. Menjadikannya tidak pernah kehilangan kedawasan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan mencarikan alternatif solusi atas kompleksitas problem yang hadir.
Menyikapi Pelaksanaan Pilkada
Pelaksanaan pilkada yang merupakan ekspresi dari proses penguatan sistem demokrasi harus terus berjalan, tidak boleh berhenti di tengah jalan, apalagi harus dikembalikan pada sistem lama, sebagaimana ide beberapa kalangan. Realitas pelaksanaan pilkada yang mengalami banyak penyimpangan, turut mempengaruhi “kegagalan” pilkada dalam memenuhi harapan masyarakat, sebagaimana tujuan sejatinya memberikan kepuasan politik dalam konteks demokratisasi.
Tetapi bagaimanapun juga proses pilkada sekarang ini masih tetap lebih baik dari pada sebelumnya. Dukungan yang sangat besar dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk tokoh-tokoh agama sekalipun. Banyaknya masalah yang terjadi pada pilkada tidak harus membuat kita cepat menarik kesimpulan, dan menganggap pilkada dan gerakan demokratisasi sangat kontraproduktif dengan harapan publik.
Realitas tersebut mengharuskan NU sebagai salah satu kekuatan civil society bertugas memberikan pencerdasan politik dan penguatan sumber daya ekonomi masyarakat melalui serangkaian agenda pemberdayaan. NU juga harus mendorong pelaksanaan demorkasi yang lebih berkualitas, dan meyakinkan kepada berbagai pihak bahwa demorkasi adalah pilihan yang tepat. Karena akhir-akhir ini banyak pihak yang menyangsikan urgensi demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Perjalan panjang demokrasi, mulai dibangun sejak reformasi tahun 1998 sampai sekarang ini demokrasi belum memberikan kesejahteraan pada masyarakat. NU harus mampu menegaskan kepada public bahwa gerakan demokrasi sebagai pilihan bersama, tidak boleh lagi mundur kemudian digantikan dengan sistem lainnya yang belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Apalagi sampai mengebiri hak-hak masyarakat.
Politik kebangsaan yang selama ini disandang NU sudah seharusnya bekerja seoptimal mungkin dalam mengawal berbagai agenda demokratisasi, termasuk proses pelaksanaan pilkada agar tetap berjalan sesuai dengan koridor demokratisasi. Proses pilkada diharapkan bisa berjalan lebih baik, lebih bersih dan lebih menghargai hak-hak publik. Untuk itu, implementasi demokrasi dalam dinamika kebangsaan tidak hanya berjalan secara procedural atau sekedar sebagai symbol belaka. Tetapi lebih prioritas pada demokrasi substansial, agar sistem demokrasi yang dibangun betul-betul dinikmati oleh masyarakat.
Revitalisasi peran politik kebangsaan dengan tetap menjaga citra NU sebagai organisasi yang otonom, sudah harus dipertegas kembali. Membebaskan NU dari berbagai bentuk kooptasi kekuatan politik. Menurut Greg Barton, salah satu upaya yang ditempuh oleh NU dalam merancang kembali visi, misi, dan strategi sebagai upaya revitalisasi peran politiknya (baca; politik kebangsaan) adalah mengkonsentrasikannya pada penguatan demokratisasi dan pemberdayaan umat.
Pilkada sebagai proses kompetisi politik tentu menawarkan berbagai agenda strategis untuk keluar sebegai pemenangnya, tidak heran jika kandidat seringkali tergiur untuk menghalalkan berbagai macam cara. Di sinilah kader-kader NU harus konsisten pada kultur politiknya yang didasarkan pada nilai-nilai aswaja yang lebih menghargai keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), moderat (tawassuth), keadilan (I’tidal) dan ajakan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
Kompetisi politik hendaknya tidak dipahami semata-mata untuk mengambil alih kekuasaan. Tetap lebih mengedepankan substansi demokrasi yang merupakan pilihan sistem politik. Kekuasaan yang dicapai bukan untuk semata-mata kepentingan golongan tertentu. Menjadikan kekuasaan sebagai media yang paling tepat untuk mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Kekuasaan dalam konteks demokratisasi harus memberikan kesejahteraan kepada pemilik kedaulatan yang sah yaitu rakyat itu sendiri. Itulah sesungguhnya tanggung jawab hakiki NU dalam politik kebangsaan

Kiprah Ormas dalam Pilkada

Kiprah Ormas dalam Pilkada
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag

Posisi organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) pada setiap menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah bisa dikatakan memiliki daya pikat luar biasa. Hal tersebut dapat dipahami karena ormas memiliki sumber daya berupa tokoh-tokoh berpengaruh dan struktur organisasi hingga pelosok desa/kelurahan. Lebih dari itu, ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah jelas memiliki anggota yang sangat banyak. Itu berarti sangat potensial untuk mendulang dukungan suara bagi pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Karena alasan itulah, hampir semua calon yang akan berlaga dalam pilkada berupaya sekuat tenaga untuk meraih dukungan ormas. Atau paling tidak, dukungan tersebut bisa diberikan melalui tokoh-tokoh berpengaruh yang dimiliki ormas.

Maka, tidak mengherankan para calon harus rela ''sowan" ke pimpinan ormas sebagai ''kulonuwun politik". Budaya sowan itu dijalani untuk memperoleh restu dan dukungan politik. Bagi para calon, restu dan dukungan dari tokoh ormas atau kiai berpengaruh akan bisa memberikan energi dan kepercayaan diri untuk mengarungi kompetisi yang begitu ketat dalam pilkada langsung. Budaya sowan politik tersebut sesungguhnya merupakan sesuatu yang lumrah dijalankan para politisi yang ingin maju dalam pilkada. Sebab, dalam pilkada langsung, jelas dibutuhkan dukungan banyak pihak, terutama mereka yang memiliki basis massa.

Di samping harus menjalani safari politik ke pimpinan organisasi, strategi yang sering dilakukan para calon adalah mengidentifikasi diri sebagai anggota atau simpatisan ormas tertentu. Tampaknya, cara itu sangat efektif untuk memengaruhi emosi pimpinan dan anggota ormas. Dengan strategi itu, para calon dapat menyatakan bahwa dirinya memiliki kedekatan emosional dengan ormas. Apalagi, dalam proses identifikasi diri itu diikuti janji-janji politik. Misalnya, akan membantu pelaksanaan program kerja ormas. Strategi lain adalah merekrut pimpinan ormas yang memiliki basis massa untuk menjadi pasangannya. Jika strategi itu tidak berhasil, cara yang ditempuh adalah merekrut pimpinan ormas berpengaruh untuk dijadikan tim sukses.

Fenomena tersebut umumnya dijumpai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dalam situasi seperti itu, ormas dituntut menentukan sikap politik yang tegas. Sebab, perekrutan pimpinan dan anggota ormas sebagai pasangan calon maupun tim sukses dalam tingkat tertentu bisa memengaruhi soliditas organisasi. Dapat dibayangkan jika dalam satu ormas ada beberapa pimpinan yang turut bertarung dalam pilkada, pasti akan muncul friksi di internal organisasi. Akibatnya, semangat kebersamaan dan ukhuwah yang telah terjalin terganggu oleh kepentingan politik setiap calon.

Pertarungan Pilkada 2010 di 18 kabupaten/kota se-Jatim hampir dipastikan akan diwarnai munculnya beberapa calon yang berlatar belakang ormas berbeda. Bahkan, di suatu kabupaten/kota dapat muncul beberapa pasangan calon dan tim sukses yang berasal dari satu ormas. Nah, dalam situasi persaingan memperebutkan posisi bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota tersebut, gesekan yang melibatkan kelompok elite di suatu ormas sangat rentan terjadi. Akan lebih berbahaya lagi jika gesekan kepetingan elite berlanjut hingga di tingkat akar rumput. Jika itu yang terjadi, harmonisasi dalam kehidupan sosial keberagamaan pasti terganggu.

Pilihan Sikap Politik

Menurut saya, ada beberapa alternatif yang bisa diambil pimpinan ormas dalam merespons dinamika politik menjelang pilkada di Jatim. Pertama, pimpinan ormas bisa bersikap mendukung terhadap salah satu calon. Dengan sikap itu, ormas akan berusaha memaksimalkan sumber daya, mulai pimpinan, kiai, anggota, hingga amal usaha, untuk mendukung dan bahkan mengampanyekan calon tertentu. Sikap itu jelas sangat berisiko. Apalagi jika calon tersebut tidak memiliki kredibilitas, kapasitas, dan akseptabilitas yang tinggi. Di samping itu, sikap politik tersebut jelas sangat rawan dan bisa memunculkan pro-kontra di internal organisasi.

Faktanya, dalam setiap pemilu, aspirasi politik anggota dan pimpinan ormas dapat dipastikan tersebar di banyak partai politik. Jika saja partai-partai politik tersebut manjagokan calon berbeda, dapat dibayangkan ongkos sosial yang harus ditanggung ormas. Karena itu, sikap politik anggota ormas sesungguhnya tidak bisa diarahkan dengan hanya memilih satu pasangan calon tertentu. Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi dalam hubungan kiai dan santri. Dalam urusan keagamaan, biasanya santri masih mendengarkan fatwa kiai. Tetapi, dalam urusan politik, hubungan kiai dan santri akan sangat longgar. Artinya, pilihan politik kiai sangat mungkin berbeda dengan santrinya. Dengan demikian, alternatif pertama itu seharusnya dihindari pimpinan ormas.

Kedua, pimpinan ormas bisa bersikap dengan berdiam diri dan masa bodoh terhadap perkembangan politik di daerah. Alternatif kedua itu tentu sama ekstremnya dengan yang pertama. Jika alternatif pertama mendukung salah satu calon, sikap yang kedua menunjukkan bahwa ormas bersikap seolah apatis dan tidak mau peduli pada pilkada. Jika sikap itu yang diambil, berarti pimpinan ormas tidak berusaha memberikan kontribusi terhadap dinamika politik di daerah. Padahal, dukungan politik itu sangat penting bagi ormas untuk menjalankan kegiatan dakwahnya.

Ketiga, pimpinan ormas dapat bersikap dual position. Sikap itu mengharuskan pimpinan ormas mampu mencitrakan diri sebagai organisasi yang tidak secara tegas mendukung atau menolak pasangan calon tertentu. Dalam posisi tersebut, ormas bisa ikut ''bermain" guna memperoleh keuntungan dari beberapa pasangan calon potensial. Posisi dual position juga dapat ditempuh ormas melalui kerja sama dengan partai politik dan anggota DPRD yang memiliki kedekatan emosional. Dalam hal ini, ormas secara organisatoris bisa menyatakan tidak mendukung calon tertentu, tetapi cukup menegosiasikan aspirasi politiknya pada partai politik dan para legislator. Sikap dual position itu mengharuskan pimpinan ormas pintar bermain di atas panggung sandiwara. Dengan meminjam istilah Erving Guffman dalam teori dramaturgi, ormas harus mampu membedakan penampilan dalam dua domain. Yakni, panggung depan (front region) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah tempat melakukan pertunjukan, sedangkan panggung belakang merupakan wajah sesungguhnya. Melalui panggung belakang itulah, sikap politik sesungguhnya dari ormas dikemukakan.

Keempat, pimpinan ormas dapat bersikap kritis dan konstruktif. Itu berarti ormas harus bersikap kritis terhadap semua calon. Dalam posisi tersebut, ormas harus melihat secara cermat track record semua calon. Selanjutnya ormas cukup memberikan kriteria calon yang dibutuhkan sesuai dengan tantangan yang dihadapi setiap daerah. Jika posisi itu yang diambil, ormas akan lebih leluasa dan tidak memiliki beban politik ketika harus memberikan fatwa berupa landasan normatif dan etik.

Dari beberapa alternatif tersebut, rasanya posisi yang paling mungkin diambil pimpinan ormas adalah bersikap kritis dan konstruktif. Sikap kritis dan konstruktif itu akan memberikan keuntungan bagi ormas sehingga bisa memainkan peran pada level high politics dan tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis.

Ansor Tegaskan Netral dalam Pilkada Lamongan


Lamongan, 
Gerakan Pemuda (GP) Ansor Lamongan menegaskan bersikap netral dalam pilkada yang akan digelar 23 Mei mendatang. Pernyataan tersebut tersirat dalam pidato Ketua PC GP Ansor Lamongan, Khoirul Huda pada acara resepsi Harlah ke - 76 GP Ansor di Aula Dinas Pendidikan setempat akhir pekan ini (2/5). 

''GP Ansor (Lamongan) bertekat akan berperan penting siapa pun bupati dan wakil bupati yang akan terpilih dalam pilkada 23 Mei mendatang,'' tegas Khoirul Huda.

Menurut Huda, kelahiran Ansor sebenarnya tidak lepas dari perjuangan bangsa dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Namun anehnya, dalam buku-buku sejarah peran penting Ansor tersebut tidak banyak disebutkan. 

"Ansor seperti terpinggirkan dalam aktivitas berbangsa dan bernegara selama ini,'' tukasnya.

Atas dasar pelajaran tersebut, lanjut pria yang juga Ketua KPUK Lamongan itu, Ansor akan terus bertekat untuk selalu berperan penting dalam pemberdayaan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun daerah. 

''Ansor tidak mau terpinggirkan lagi, sehingga ke depan Ansor akan selalu berperan penting di tengah - tengah masyarakat tidak peduli siapa pun bupatinya yang akan terpilih dalam pilkada nanti,'' ungkapnya.

Menurut Huda, dengan tekad seperti itu, seluruh aktivis Ansor diharapkan untuk selalu berperan dan memberi manfaat bagi masyarakat di mana pun berada. 

''Ansor merupakan kader utama bagi penerus kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga harus selalu bermanfaat bagi kemaslahatan umat,'' tandasnya seperti dilansir Radar Bojonegoro.

Acara tersebut juga dihadiri Ketua GP Ansor Jawa Timur, jajaran ketua PCNU Lamongan, Murtadlo; Asisten Tata Praja Pemkab Lamongan, Agus Sugiharto mewakili Bupati Masfuk; serta wakil anggota muspida.

Tanggung Jawab Sosial dan Sikap Politik NU

Tanggung Jawab Sosial dan Sikap Politik NU 
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag


Sebagai organisasi keagamaan yang besar NU memikul juga tanggung jawab sosial yang sangat besar yaitu bagaimana mendidik dan membina warganya dengan semangat pengabdian, kesetiakawanan yang tinggi dan rasa saling percaya berdasarkan akhlak yang mulia. Untuk menjaga keutuhan dan kualitas umat ini tidak mudah karena akan selalu menghadapi situasi sosial dan kondisi politik yang sangat berbeda bahkan bertentangan. Mengingat keadaan ini, maka tanggung jawab sosial yang diemban oleh NU mengharuskan NU selalu mengambil sikap dalam bidang politik, justeru untuk melindungi warga dan bangsa dari proses degradasi dan demoraslisasi. Dengan alasan itu pula NU juga terpanggil berpolitik untuk menjaga keutuhan negara. 

Sikap politik NU bukanlah muncul karena will to power (ambisi kekuasaan) melainkan suatu  bagian integral dari tanggung jawab sosialnya.  Prinsip tashorruful imam ala ra’iyah manuthun bil mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyat adalah untuk  menciptakan kemaslahatan umat). Sementara itu di sisi lain kita melihat bahwa banyak kebijakan baik yang dirumuskan oleh parlemen dan yang dilaksanakan oleh pemerintah sangat jauh dari kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, semua kebijakan demi kepentingan kalangan elit baik penguasa sendiri maupun kalangan pengusaha.

Sebagai tanggung jawab sosial untuk melindungi kesejahteraan rakyat maka ketika melihat kenyataan itu  maka NU segerara menentukan sikap bahwa sistem politik dan ketatanegaraan yang cenderung liberal yang mengutamakan persaingana bebas, ketimbang kepedulian sosial dan keutuhan bangsa. Tanpa harus mengurangi kualitas demokrasi, dengan tegas NU mengusulkan agar pemilihan kepala daerah langsung itu dihapuskan, karena hal itu tidak hanya mengakibatkan politik berbiaya tinggi, tetapi juga memancing terjadinya disitegrasi sosial. Lebih penting lagi langkah itu jelas melanggar dasar negara sebagaimana termaktub dalam Pancasila.

Pancasila dalam pasal tiga menyebutkan bahwa sistem demokrasi kita bukan demokrasi langsung melainkan demokrasi perwakilan, sebagaimana dikatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad dalam kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam demokrasi Pancasila ini pimpinan eksekutif sejak mulai presiden hingga bupati dipilih oleh para wakil rakyat, yang sudah dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Dalam politika kebangsaan dan kenegaraan NU akan selalu ikut terlibat, karena ini bukan soal perebutan kekuasaan, melainkan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, inilah yang disebut dengan politik kebangsaan. Apalagi ketikapartai politik yang ada cenderung hanya untuk mengejar kekuasaan, tanpa mempedulikan keutuhan bangsa dan keselamatan negara, apalagi soal harkat bangsa dan kebesaran bangsa. Maka NU lah yangmesti bertanggung jawab mengambil sikap politik kebangsaan ini.

Tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan sosial di tengah sistem politik kenegaraan yang  kapitalistik ini, sebab sistem ini bersifat liberal yang lebih mengutamakan persaingan ketimbang kerjasama. Rasa persaudaraan dan kekeluargaan disirnakan dari sistem ini, sementara sistem itulah yang akan mampu membawa kesejahteraan sosial secara merata. Karena itu sistem politik ketatanegaraan yang telah melanggar asas negara sendiri ini harus diluruskan dikembalikan pada khittahnya yaitu Pancasila dan UUD 1945, karena hanya sistem ini yang mamapu menciptakan kesejahteraan sosial dan menjaga keluhuran bangsa.

Sejauh pelanggaran terhadap dasar negara ini maka tidak mungkin negeri ini utuh,aman dan maju. Kita bisa melihat kenyataan sejarah ketika UUD 1945 diubah secara misterius  dengan diterapkannya demiokrasi liberal  setelah keluarnya Maklumat X. Negeri ini terjebak dalam pertikaian antar kelompok dan golongan serta ideologi. Lalu ada usaha mengembalikan lagi ke UUD 1945, tetapi sekarang dikembalikan lagi pada sistem liberal seperti tahun 1950-an. Hal itu menyebabkan krisis terus berlangsung tanpa penyelesaian, konfil antar kelompok diperparah dengan korupsi yang tak pernah teratasi. Bahkan isu korupsi sebagai cara untuk menyingkirkan lawannya.Semantara korupsi terus dipertahankan untuk menjalankan roda pemerintahan.

Tugas besar warga negara adalah menyelamatkan bangsa dari pertikaian dan menyelamatkan negara dari perpecahan serta menyelamatkan aset negara agar tidak terus dikorup para aparatnya. Maka NU menghendaki adanya perubahan sistem politik ketatanegaraan yang ada. Sistem politik harus dikembalikan pada asasa Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, semua peratuturan dan Undang-undang yang bertentangan dengan dua landasan itu harus digugurkan demi untuk menjaga keamanan negara dan martabat bangsa. Dengan alasan sosial dan bangsa itulah NU mengambil sikap politik yang tegas, yang tidak mungkin diambil oleh partai atau ormas yang lain.

ARSIP FOTO 3



















ARSIP FOTO 2



































Senin, 14 Juni 2010

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada

“Sikap Politik” NU dalam Pemilukada
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag
Dalam setiap pelaksanaan pilkada, NU selalu menjadi perhatian utama berbagai pihak. Bukan hanya pada peran NU dalam mengawal pelaksanaan pilkada yang lebih berkualitas, tetapi sorotan tajam juga pada NU karena dukungannya pada salah satu kandidat. Terlebih lagi maraknya elit-elit NU termasuk pemimpinnya yang mencalonkan diri sebagai orang nomor satu maupun kedua, yang tentu akan menarik-narik NU (baca; institusi) dalam arus utama politik praktis.
Terlebih lagi pengaruh kultur politik dalam lingkungan NU sendiri cukup kuat. Sejarah panjang NU sebagai partai politik yang sangat disegani oleh rival politiknya, masih mewariskan pengaruh politik yang cukup kuat dan mendasar hingga sekarang. NU dan politik seperti satu kesatuan yang utuh tidak akan bisa dipisahkan satu sama lain. Seiring dengan apa yang pernah dilontarkan oleh KH A Wahab Chasbullah sebagaimana yang dikutip Allan A Samson dalam Karl D Jackson & Lucian W Pye (Eds), Political Power and Communications in Indonesia (1978), bahwa Islam dan politik seperti gula dan manisnya.
Tentu bukan politik praktis sebagaimana layaknya partai politik, karena NU sudah memutuskan untuk kembali ke khittah NU Tahun 1926. Ibarat kereta sudah jelas rel yang harus dilalui. Sayangnya, konsistensi NU dalam mengikuti “rel” khittah NU masih belum sepenuh hati, tanpa disadari sering kali keluar rel yang menyebabkan munculnya masalah baru. Politik kebangsaan dan konsep “rahmatan lil alamin” yang menjadi konsep dan agendanya belum maksimal dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Justru NU terlihat masih malu-malu ketika berhadapan dengan manuver politik praktis, sama malu-nya pada posisi hubungan NU dengan partai politik termasuk PKB yang nota bene dilahirkan oleh tokoh-tokoh harismatik NU. Sikap tegas NU pada gerakan politik praktis masih terlihat sangat abu-abu. Safari politik yang dilakukan elit-elit NU dalam memberikan dukungan politik pada salah satu kandidat masih jadi tradisi politik yang belum bisa dihindari. Membuktikan betapa NU masih senang bermain dalam wilayah yang penuh kontroversi, meskipun dukungan politik itu sesama kader.
Belum lagi sistem di luar lingkungan yang membawa daya tarik politik yang lebih kuat. Pragmatisme politik yang semakin kuat mempengaruhi para aktivis dan ormas seiring dengan agenda demokrasi yang lebih mengutamakan suara publik. Tidak heran jika Pilkada dan dinamika politik lokal juga semakin kencang menyeret NU yang nota bene sebagai ormas islam dengan massa yang sangat besar.
Namun demikian, harus juga diakui bahwa langkah NU selama ini masih terlihat cantik dalam mengarungi dua kepentingan besar yang bertarung, antara independensi dengan ruang politik praktis. Gaya elit NU jauh dari kesan “kampungan” yang selama ini dipraktekkan oleh para rent seeker dan kelompok pragmatisme. Di samping itu, perbedaan orientasi politik yang terbentuk, tidak membuat NU membangun jarak dengan pihak yang punya ideologi berbeda. NU tetap merawat kebersamaan dengan semua pihak, menumbuhkan kesadaran publik akan pentingnya kebersamaan dalam mengawal keluarga besar bernama Indonesia. Tetap konsisten dalam membangun kesadaran individual (wa’yul-fardiyyah), kesadaran komunal (ukhuwwah nahdliyyah, ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah islamiyyah) sampai pada kesadaran universal (ukhuwwah insaniyyah) demi kepentingan bangsa. Tidak heran jika NU tetap disegani oleh berbagai kalangan. Menjadikannya tidak pernah kehilangan kedawasan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan mencarikan alternatif solusi atas kompleksitas problem yang hadir.
Menyikapi Pelaksanaan Pilkada
Pelaksanaan pilkada yang merupakan ekspresi dari proses penguatan sistem demokrasi harus terus berjalan, tidak boleh berhenti di tengah jalan, apalagi harus dikembalikan pada sistem lama, sebagaimana ide beberapa kalangan. Realitas pelaksanaan pilkada yang mengalami banyak penyimpangan, turut mempengaruhi “kegagalan” pilkada dalam memenuhi harapan masyarakat, sebagaimana tujuan sejatinya memberikan kepuasan politik dalam konteks demokratisasi.
Tetapi bagaimanapun juga proses pilkada sekarang ini masih tetap lebih baik dari pada sebelumnya. Dukungan yang sangat besar dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk tokoh-tokoh agama sekalipun. Banyaknya masalah yang terjadi pada pilkada tidak harus membuat kita cepat menarik kesimpulan, dan menganggap pilkada dan gerakan demokratisasi sangat kontraproduktif dengan harapan publik.
Realitas tersebut mengharuskan NU sebagai salah satu kekuatan civil society bertugas memberikan pencerdasan politik dan penguatan sumber daya ekonomi masyarakat melalui serangkaian agenda pemberdayaan. NU juga harus mendorong pelaksanaan demorkasi yang lebih berkualitas, dan meyakinkan kepada berbagai pihak bahwa demorkasi adalah pilihan yang tepat. Karena akhir-akhir ini banyak pihak yang menyangsikan urgensi demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Perjalan panjang demokrasi, mulai dibangun sejak reformasi tahun 1998 sampai sekarang ini demokrasi belum memberikan kesejahteraan pada masyarakat. NU harus mampu menegaskan kepada public bahwa gerakan demokrasi sebagai pilihan bersama, tidak boleh lagi mundur kemudian digantikan dengan sistem lainnya yang belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Apalagi sampai mengebiri hak-hak masyarakat.
Politik kebangsaan yang selama ini disandang NU sudah seharusnya bekerja seoptimal mungkin dalam mengawal berbagai agenda demokratisasi, termasuk proses pelaksanaan pilkada agar tetap berjalan sesuai dengan koridor demokratisasi. Proses pilkada diharapkan bisa berjalan lebih baik, lebih bersih dan lebih menghargai hak-hak publik. Untuk itu, implementasi demokrasi dalam dinamika kebangsaan tidak hanya berjalan secara procedural atau sekedar sebagai symbol belaka. Tetapi lebih prioritas pada demokrasi substansial, agar sistem demokrasi yang dibangun betul-betul dinikmati oleh masyarakat.
Revitalisasi peran politik kebangsaan dengan tetap menjaga citra NU sebagai organisasi yang otonom, sudah harus dipertegas kembali. Membebaskan NU dari berbagai bentuk kooptasi kekuatan politik. Menurut Greg Barton, salah satu upaya yang ditempuh oleh NU dalam merancang kembali visi, misi, dan strategi sebagai upaya revitalisasi peran politiknya (baca; politik kebangsaan) adalah mengkonsentrasikannya pada penguatan demokratisasi dan pemberdayaan umat.
Pilkada sebagai proses kompetisi politik tentu menawarkan berbagai agenda strategis untuk keluar sebegai pemenangnya, tidak heran jika kandidat seringkali tergiur untuk menghalalkan berbagai macam cara. Di sinilah kader-kader NU harus konsisten pada kultur politiknya yang didasarkan pada nilai-nilai aswaja yang lebih menghargai keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), moderat (tawassuth), keadilan (I’tidal) dan ajakan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
Kompetisi politik hendaknya tidak dipahami semata-mata untuk mengambil alih kekuasaan. Tetap lebih mengedepankan substansi demokrasi yang merupakan pilihan sistem politik. Kekuasaan yang dicapai bukan untuk semata-mata kepentingan golongan tertentu. Menjadikan kekuasaan sebagai media yang paling tepat untuk mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Kekuasaan dalam konteks demokratisasi harus memberikan kesejahteraan kepada pemilik kedaulatan yang sah yaitu rakyat itu sendiri. Itulah sesungguhnya tanggung jawab hakiki NU dalam politik kebangsaan

Kiprah Ormas dalam Pilkada

Kiprah Ormas dalam Pilkada
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag

Posisi organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) pada setiap menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah bisa dikatakan memiliki daya pikat luar biasa. Hal tersebut dapat dipahami karena ormas memiliki sumber daya berupa tokoh-tokoh berpengaruh dan struktur organisasi hingga pelosok desa/kelurahan. Lebih dari itu, ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah jelas memiliki anggota yang sangat banyak. Itu berarti sangat potensial untuk mendulang dukungan suara bagi pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Karena alasan itulah, hampir semua calon yang akan berlaga dalam pilkada berupaya sekuat tenaga untuk meraih dukungan ormas. Atau paling tidak, dukungan tersebut bisa diberikan melalui tokoh-tokoh berpengaruh yang dimiliki ormas.

Maka, tidak mengherankan para calon harus rela ''sowan" ke pimpinan ormas sebagai ''kulonuwun politik". Budaya sowan itu dijalani untuk memperoleh restu dan dukungan politik. Bagi para calon, restu dan dukungan dari tokoh ormas atau kiai berpengaruh akan bisa memberikan energi dan kepercayaan diri untuk mengarungi kompetisi yang begitu ketat dalam pilkada langsung. Budaya sowan politik tersebut sesungguhnya merupakan sesuatu yang lumrah dijalankan para politisi yang ingin maju dalam pilkada. Sebab, dalam pilkada langsung, jelas dibutuhkan dukungan banyak pihak, terutama mereka yang memiliki basis massa.

Di samping harus menjalani safari politik ke pimpinan organisasi, strategi yang sering dilakukan para calon adalah mengidentifikasi diri sebagai anggota atau simpatisan ormas tertentu. Tampaknya, cara itu sangat efektif untuk memengaruhi emosi pimpinan dan anggota ormas. Dengan strategi itu, para calon dapat menyatakan bahwa dirinya memiliki kedekatan emosional dengan ormas. Apalagi, dalam proses identifikasi diri itu diikuti janji-janji politik. Misalnya, akan membantu pelaksanaan program kerja ormas. Strategi lain adalah merekrut pimpinan ormas yang memiliki basis massa untuk menjadi pasangannya. Jika strategi itu tidak berhasil, cara yang ditempuh adalah merekrut pimpinan ormas berpengaruh untuk dijadikan tim sukses.

Fenomena tersebut umumnya dijumpai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dalam situasi seperti itu, ormas dituntut menentukan sikap politik yang tegas. Sebab, perekrutan pimpinan dan anggota ormas sebagai pasangan calon maupun tim sukses dalam tingkat tertentu bisa memengaruhi soliditas organisasi. Dapat dibayangkan jika dalam satu ormas ada beberapa pimpinan yang turut bertarung dalam pilkada, pasti akan muncul friksi di internal organisasi. Akibatnya, semangat kebersamaan dan ukhuwah yang telah terjalin terganggu oleh kepentingan politik setiap calon.

Pertarungan Pilkada 2010 di 18 kabupaten/kota se-Jatim hampir dipastikan akan diwarnai munculnya beberapa calon yang berlatar belakang ormas berbeda. Bahkan, di suatu kabupaten/kota dapat muncul beberapa pasangan calon dan tim sukses yang berasal dari satu ormas. Nah, dalam situasi persaingan memperebutkan posisi bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota tersebut, gesekan yang melibatkan kelompok elite di suatu ormas sangat rentan terjadi. Akan lebih berbahaya lagi jika gesekan kepetingan elite berlanjut hingga di tingkat akar rumput. Jika itu yang terjadi, harmonisasi dalam kehidupan sosial keberagamaan pasti terganggu.

Pilihan Sikap Politik

Menurut saya, ada beberapa alternatif yang bisa diambil pimpinan ormas dalam merespons dinamika politik menjelang pilkada di Jatim. Pertama, pimpinan ormas bisa bersikap mendukung terhadap salah satu calon. Dengan sikap itu, ormas akan berusaha memaksimalkan sumber daya, mulai pimpinan, kiai, anggota, hingga amal usaha, untuk mendukung dan bahkan mengampanyekan calon tertentu. Sikap itu jelas sangat berisiko. Apalagi jika calon tersebut tidak memiliki kredibilitas, kapasitas, dan akseptabilitas yang tinggi. Di samping itu, sikap politik tersebut jelas sangat rawan dan bisa memunculkan pro-kontra di internal organisasi.

Faktanya, dalam setiap pemilu, aspirasi politik anggota dan pimpinan ormas dapat dipastikan tersebar di banyak partai politik. Jika saja partai-partai politik tersebut manjagokan calon berbeda, dapat dibayangkan ongkos sosial yang harus ditanggung ormas. Karena itu, sikap politik anggota ormas sesungguhnya tidak bisa diarahkan dengan hanya memilih satu pasangan calon tertentu. Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi dalam hubungan kiai dan santri. Dalam urusan keagamaan, biasanya santri masih mendengarkan fatwa kiai. Tetapi, dalam urusan politik, hubungan kiai dan santri akan sangat longgar. Artinya, pilihan politik kiai sangat mungkin berbeda dengan santrinya. Dengan demikian, alternatif pertama itu seharusnya dihindari pimpinan ormas.

Kedua, pimpinan ormas bisa bersikap dengan berdiam diri dan masa bodoh terhadap perkembangan politik di daerah. Alternatif kedua itu tentu sama ekstremnya dengan yang pertama. Jika alternatif pertama mendukung salah satu calon, sikap yang kedua menunjukkan bahwa ormas bersikap seolah apatis dan tidak mau peduli pada pilkada. Jika sikap itu yang diambil, berarti pimpinan ormas tidak berusaha memberikan kontribusi terhadap dinamika politik di daerah. Padahal, dukungan politik itu sangat penting bagi ormas untuk menjalankan kegiatan dakwahnya.

Ketiga, pimpinan ormas dapat bersikap dual position. Sikap itu mengharuskan pimpinan ormas mampu mencitrakan diri sebagai organisasi yang tidak secara tegas mendukung atau menolak pasangan calon tertentu. Dalam posisi tersebut, ormas bisa ikut ''bermain" guna memperoleh keuntungan dari beberapa pasangan calon potensial. Posisi dual position juga dapat ditempuh ormas melalui kerja sama dengan partai politik dan anggota DPRD yang memiliki kedekatan emosional. Dalam hal ini, ormas secara organisatoris bisa menyatakan tidak mendukung calon tertentu, tetapi cukup menegosiasikan aspirasi politiknya pada partai politik dan para legislator. Sikap dual position itu mengharuskan pimpinan ormas pintar bermain di atas panggung sandiwara. Dengan meminjam istilah Erving Guffman dalam teori dramaturgi, ormas harus mampu membedakan penampilan dalam dua domain. Yakni, panggung depan (front region) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah tempat melakukan pertunjukan, sedangkan panggung belakang merupakan wajah sesungguhnya. Melalui panggung belakang itulah, sikap politik sesungguhnya dari ormas dikemukakan.

Keempat, pimpinan ormas dapat bersikap kritis dan konstruktif. Itu berarti ormas harus bersikap kritis terhadap semua calon. Dalam posisi tersebut, ormas harus melihat secara cermat track record semua calon. Selanjutnya ormas cukup memberikan kriteria calon yang dibutuhkan sesuai dengan tantangan yang dihadapi setiap daerah. Jika posisi itu yang diambil, ormas akan lebih leluasa dan tidak memiliki beban politik ketika harus memberikan fatwa berupa landasan normatif dan etik.

Dari beberapa alternatif tersebut, rasanya posisi yang paling mungkin diambil pimpinan ormas adalah bersikap kritis dan konstruktif. Sikap kritis dan konstruktif itu akan memberikan keuntungan bagi ormas sehingga bisa memainkan peran pada level high politics dan tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis.

Ansor Tegaskan Netral dalam Pilkada Lamongan


Lamongan, 
Gerakan Pemuda (GP) Ansor Lamongan menegaskan bersikap netral dalam pilkada yang akan digelar 23 Mei mendatang. Pernyataan tersebut tersirat dalam pidato Ketua PC GP Ansor Lamongan, Khoirul Huda pada acara resepsi Harlah ke - 76 GP Ansor di Aula Dinas Pendidikan setempat akhir pekan ini (2/5). 

''GP Ansor (Lamongan) bertekat akan berperan penting siapa pun bupati dan wakil bupati yang akan terpilih dalam pilkada 23 Mei mendatang,'' tegas Khoirul Huda.

Menurut Huda, kelahiran Ansor sebenarnya tidak lepas dari perjuangan bangsa dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Namun anehnya, dalam buku-buku sejarah peran penting Ansor tersebut tidak banyak disebutkan. 

"Ansor seperti terpinggirkan dalam aktivitas berbangsa dan bernegara selama ini,'' tukasnya.

Atas dasar pelajaran tersebut, lanjut pria yang juga Ketua KPUK Lamongan itu, Ansor akan terus bertekat untuk selalu berperan penting dalam pemberdayaan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun daerah. 

''Ansor tidak mau terpinggirkan lagi, sehingga ke depan Ansor akan selalu berperan penting di tengah - tengah masyarakat tidak peduli siapa pun bupatinya yang akan terpilih dalam pilkada nanti,'' ungkapnya.

Menurut Huda, dengan tekad seperti itu, seluruh aktivis Ansor diharapkan untuk selalu berperan dan memberi manfaat bagi masyarakat di mana pun berada. 

''Ansor merupakan kader utama bagi penerus kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga harus selalu bermanfaat bagi kemaslahatan umat,'' tandasnya seperti dilansir Radar Bojonegoro.

Acara tersebut juga dihadiri Ketua GP Ansor Jawa Timur, jajaran ketua PCNU Lamongan, Murtadlo; Asisten Tata Praja Pemkab Lamongan, Agus Sugiharto mewakili Bupati Masfuk; serta wakil anggota muspida.

Tanggung Jawab Sosial dan Sikap Politik NU

Tanggung Jawab Sosial dan Sikap Politik NU 
Oleh : Khoirul Huda,S.Ag


Sebagai organisasi keagamaan yang besar NU memikul juga tanggung jawab sosial yang sangat besar yaitu bagaimana mendidik dan membina warganya dengan semangat pengabdian, kesetiakawanan yang tinggi dan rasa saling percaya berdasarkan akhlak yang mulia. Untuk menjaga keutuhan dan kualitas umat ini tidak mudah karena akan selalu menghadapi situasi sosial dan kondisi politik yang sangat berbeda bahkan bertentangan. Mengingat keadaan ini, maka tanggung jawab sosial yang diemban oleh NU mengharuskan NU selalu mengambil sikap dalam bidang politik, justeru untuk melindungi warga dan bangsa dari proses degradasi dan demoraslisasi. Dengan alasan itu pula NU juga terpanggil berpolitik untuk menjaga keutuhan negara. 

Sikap politik NU bukanlah muncul karena will to power (ambisi kekuasaan) melainkan suatu  bagian integral dari tanggung jawab sosialnya.  Prinsip tashorruful imam ala ra’iyah manuthun bil mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyat adalah untuk  menciptakan kemaslahatan umat). Sementara itu di sisi lain kita melihat bahwa banyak kebijakan baik yang dirumuskan oleh parlemen dan yang dilaksanakan oleh pemerintah sangat jauh dari kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, semua kebijakan demi kepentingan kalangan elit baik penguasa sendiri maupun kalangan pengusaha.

Sebagai tanggung jawab sosial untuk melindungi kesejahteraan rakyat maka ketika melihat kenyataan itu  maka NU segerara menentukan sikap bahwa sistem politik dan ketatanegaraan yang cenderung liberal yang mengutamakan persaingana bebas, ketimbang kepedulian sosial dan keutuhan bangsa. Tanpa harus mengurangi kualitas demokrasi, dengan tegas NU mengusulkan agar pemilihan kepala daerah langsung itu dihapuskan, karena hal itu tidak hanya mengakibatkan politik berbiaya tinggi, tetapi juga memancing terjadinya disitegrasi sosial. Lebih penting lagi langkah itu jelas melanggar dasar negara sebagaimana termaktub dalam Pancasila.

Pancasila dalam pasal tiga menyebutkan bahwa sistem demokrasi kita bukan demokrasi langsung melainkan demokrasi perwakilan, sebagaimana dikatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad dalam kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam demokrasi Pancasila ini pimpinan eksekutif sejak mulai presiden hingga bupati dipilih oleh para wakil rakyat, yang sudah dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Dalam politika kebangsaan dan kenegaraan NU akan selalu ikut terlibat, karena ini bukan soal perebutan kekuasaan, melainkan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, inilah yang disebut dengan politik kebangsaan. Apalagi ketikapartai politik yang ada cenderung hanya untuk mengejar kekuasaan, tanpa mempedulikan keutuhan bangsa dan keselamatan negara, apalagi soal harkat bangsa dan kebesaran bangsa. Maka NU lah yangmesti bertanggung jawab mengambil sikap politik kebangsaan ini.

Tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan sosial di tengah sistem politik kenegaraan yang  kapitalistik ini, sebab sistem ini bersifat liberal yang lebih mengutamakan persaingan ketimbang kerjasama. Rasa persaudaraan dan kekeluargaan disirnakan dari sistem ini, sementara sistem itulah yang akan mampu membawa kesejahteraan sosial secara merata. Karena itu sistem politik ketatanegaraan yang telah melanggar asas negara sendiri ini harus diluruskan dikembalikan pada khittahnya yaitu Pancasila dan UUD 1945, karena hanya sistem ini yang mamapu menciptakan kesejahteraan sosial dan menjaga keluhuran bangsa.

Sejauh pelanggaran terhadap dasar negara ini maka tidak mungkin negeri ini utuh,aman dan maju. Kita bisa melihat kenyataan sejarah ketika UUD 1945 diubah secara misterius  dengan diterapkannya demiokrasi liberal  setelah keluarnya Maklumat X. Negeri ini terjebak dalam pertikaian antar kelompok dan golongan serta ideologi. Lalu ada usaha mengembalikan lagi ke UUD 1945, tetapi sekarang dikembalikan lagi pada sistem liberal seperti tahun 1950-an. Hal itu menyebabkan krisis terus berlangsung tanpa penyelesaian, konfil antar kelompok diperparah dengan korupsi yang tak pernah teratasi. Bahkan isu korupsi sebagai cara untuk menyingkirkan lawannya.Semantara korupsi terus dipertahankan untuk menjalankan roda pemerintahan.

Tugas besar warga negara adalah menyelamatkan bangsa dari pertikaian dan menyelamatkan negara dari perpecahan serta menyelamatkan aset negara agar tidak terus dikorup para aparatnya. Maka NU menghendaki adanya perubahan sistem politik ketatanegaraan yang ada. Sistem politik harus dikembalikan pada asasa Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, semua peratuturan dan Undang-undang yang bertentangan dengan dua landasan itu harus digugurkan demi untuk menjaga keamanan negara dan martabat bangsa. Dengan alasan sosial dan bangsa itulah NU mengambil sikap politik yang tegas, yang tidak mungkin diambil oleh partai atau ormas yang lain.

ARSIP FOTO 3



















ARSIP FOTO 2



































 
. © 2007 Template feito por Templates para Você